DAFTAR ISI
|
Hal
|
Kata Pengantar …………………………………………….………………
|
i
|
Daftar Isi
…………………………………………………………………...
|
ii
|
BAB I PENDAHULUAN
|
|
1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………….........
|
1
|
1.2 Identifikasi
Masalah …………………………...…………………..…..
|
1
|
1.3 Batasan Masalah ………………………………………………………
|
1
|
BAB II UPAYAH-UPAYAH
PEMERINTAH DALAM PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
|
|
2.1
Upayah Pemerintah dalam Penegakan HAM …………………………...
|
2
|
2.2
Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia…
|
3
|
2.3
Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia…….
|
6
|
2.3 Pemerintah Masih Harus
Bekerja Keras dalam Penegakan HAM…….
|
8
|
BAB III PENUTUP
|
|
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………..
|
10
|
3.2
Saran-saran………………………………………………….…………..
|
10
|
DAFTAR PUSTAKA
|
11
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang
dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan
yang terkait dengan interaksinya antara individu atau dengan instansi. Hak juga
merupakan sesuatu yang harus diperoleh. Masalah HAM adalah sesuatu hal yang
sering kali dibicarakan dan dibahas terutama dalam era reformasi ini. HAM lebih
dijunjung tinggi dan lebih diperhatikan dalam era reformasi dari pada era
sebelum reformasi. Perlu diingat bahwa dalam hal pemenuhan hak, kita hidup
tidak sendiri dan kita hidup bersosialisasi dengan orang lain. Jangan sampai
kita melakukan pelanggaran HAM terhadap orang lain dalam usaha perolehan atau
pemenuhan HAM pada diri kita sendiri. Dan pemerintah mengupayakan agar hak-hak
tersebut di miliki oleh warganya.
1.2 Identifikasi
Masalah
Dalam makalah
ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
- Upaya Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
- Pengakuan dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
3.
Upayah Pemerintah dalam Penegakan HAM
- Pemerintah Masih Harus Bekerja Keras dalam Penegakan HAM
1.3 Batasan
Masalah
Agar masalah
pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam
hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya
pada ruang lingkup HAM.
BAB
II
UPAYAH-UPAYAH
PEMERINTAH
DALAM
PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
2.1 Upayah
Pemerintah dalam Penegakan HAM
Hak asasi
manusia tidak lagi dipandang sekadar sebagai perwujudan faham individualisme
dan liberalisme. Hak asasi manusia lebih dipahami secara humanistis sebagai
hak-hak yang inheren dengan harkat dan martabat kemanusiaan, apapun latar
belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin dan pekerjaannya. Dewasa
ini pula banyak kalangan yang berasumsi negatif terhadap pemerintah dalam
menegakkan HAM. Sangat perlu diketahui bahwa pemerintah Indonesia sudah sangat
serius dalam menegakkan HAM. Hal ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah
sebagai berikut;
1. Indonesia
menyambut baik kerja sama internasional dalam upaya menegakkan HAM di seluruh
dunia atau di setiap negara dan Indonesia sangat merespons terhadap pelanggaran
HAM internasional hal ini dapat dibuktikan dengan kecaman Presiden atas
beberapa agresi militer di beberapa daerah akhir-akhir ini contoh; Irak,
Afghanistan, dan baru-baru ini Indonesia juga memaksa PBB untuk bertindak tegas
kepada Israel yang telah menginvasi Palestina dan menimbulkan banyak korban
sipil, wanita dan anak-anak.
2. Komitmen
Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan penegakan HAM, antara lain telah
ditunjukkan dalam prioritas pembangunan Nasional tahun 2000-2004 (Propenas)
dengan pembentukan kelembagaan yang berkaitan dengan HAM. Dalam hal kelembagaan
telah dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dengan kepres nomor 50 tahun
1993, serta pembentukan Komisi Anti Kekerasan terhadap perempuan
3. Pengeluaran
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia , Undang-undang
nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, serta masih banyak UU yang lain
yang belum tersebutkan menyangkut penegakan hak asasi manusia.
Menjadi titik
berat adalah hal-hal yang tercantum dalam UU nomor 39 tahun 1999 tentang hak
asasi manusia adalah sebagai berikut;
1. Hak untuk hidup.
2. Hak berkeluarga.
3. Hak memperoleh keadilan.
4. Hak atas kebebasan pribadi.
5. Hak kebebasan pribadi
6. Hak atas rasa aman.
7. Hak atas kesejahteraan.
8. Hak turut serta dalam
pemerintahan.
9. Hak wanita
10. Hak anak
Ha-hal tersebut sebagai bukti
konkret bahwa Indonesia tidak main-main dalam penegakan HAM.
2.2 Pengakuan
dan Upaya Menegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Meskipun
Republik Indonesia lahir sebelum diproklamirkannya UDHR, beberapa hak asasi dan
kebebasan fundamental yang sangat penting sebenarnya sudah ada dan diakui dalam
UUD 1945, baik hak rakyat maupun hak individu, namun pelaksanaan hak-hak
individu tidak berlangsung sebagaimana mestinya karena bangsa Indonesia sedang
berada dalam konflik bersenjata dengan Belanda. Pada masa RIS (27 Desember
1949-15 Agustus 1950), pengakuan dan penghormatan HAM, setidaknya secara legal
formal, sangat maju dengan dicantumkannya tidak kurang dari tiga puluh lima
pasal dalam UUD RIS 1949. Akan tetapi, singkatnya masa depan RIS tersebut tidak
memungkinkan untuk melaksanakan upaya penegakan HAM secara menyeluruh.
Kemajuan yang
sama, secara konstitusional juga berlangsung sekembalinya Indonesia menjadi
negara kesatuan dan berlakunya UUDS 1950 dengan dicantumkannya tiga puluh
delapan pasal di dalamnya. Pada masa berlakunya UUDS 1950 tersebut,
penghormatan atas HAM dapat dikatakan cukup baik. Patut diingat bahwa pada masa
itu, perhatian bangsa terhadap masalah HAM masih belum terlalu besar. Di masa
itu, Indonesia menyatakan meneruskan berlakunya beberapa konvensi Organisasi
Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang telah
diberlakukan pada masa Hindia Belanda oleh Belanda dan mengesahkan Konvensi Hak
Politik Perempuan pada tahun 1952.
Sejak berlakunya
kembali UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959, bangsa Indonesia mengalami
kemunduran dalam penegakan HAM. Sampai tahun 1966, kemunduran itu terutama
berlangsung dalam hal yang menyangkut kebebasan mengeluarkan pendapat. Kemudian
pada masa Orde Baru lebih parah lagi, Indonesia mengalami kemunduran dalam
penikmatan HAM di semua bidang yang diakui oleh UUD 1945. Di tataran
internasional, selama tiga puluh dua tahun masa Orde Baru, Indonesia
mengesahkan tidak lebih dari dua instrumen internasional mengenai HAM, yakni
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(1979) dan Konvensi tentang Hak Anak (1989).
Pada tahun 1993
memang dibentuk Komnas HAM berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1993,
yang bertujuan untuk membantu mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan HAM dan meningkatkan perlindungan HAM “guna mendukung tujuan
pembangunan nasional”. Komnas HAM dibentuk sebagai lembaga mandiri yang
memiliki kedudukan setingkat dengan lembaga negara lainnya dan berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi HAM.
Meskipun Komnas HAM yang dibentuk itu dinyatakan bersifat mandiri karena para
anggotanya diangkat secara langsung oleh presiden, besarnya kekuasaan presiden
secara de facto dalam kehidupan bangsa dan negara serta kondisi obyektif bangsa
yang berada di bawah rezim yang otoriter dan represif, pembentukan Komnas HAM
menjadi tidak terlalu berarti karena pelanggaran HAM masih terjadi di
mana-mana.
Sejak runtuhnya
rezim otoriter dan represif Orde Baru, gerakan penghormatan dan penegakan HAM,
yang sebelumnya merupakan gerakan arus bawah, muncul ke permukaan dan bergerak
secara terbuka. Gerakan ini memperoleh impetus dengan diterimanya Tap MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM. Pembuatan peraturan perundang-undangan sebagai
“perangkat lunak” berlanjut dengan diundang-undangkannya UU No. 26 tahun 2000
tentang pengadilan HAM yang memungkinkannya dibentuk pengadilan HAM ad hoc guna
mengadili pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum UU tersebut dibuat.
Pada masa itu
dikenal transitional justice, yang di Indonesia tampak disepakati sebagai
keadilan dalam masa transisi, bukan hanya berkenaan dengan criminal justice
(keadilan kriminal), melainkan juga bidang-bidang keadilan yang lain seperti
constitutional justice (keadilan konstitusional), administrative justice (keadilan
administratif), political justice (keadilan politik), economic justice
(keadilan ekonomi), social justice (keadilan sosial), dan bahkan historical
justice (keadilan sejarah). Meskipun demikian, perhatian lebih umum lebih
banyak tertuju pada transitional criminal justice karena memang merupakan salah
satu aspek transitional justice yang berdampak langsung pada dan menyangkut
kepentingan dasar baik dari pihak korban maupun dari pihak pelaku pelanggaran
HAM tersebut. Di samping itu, bentuk penegakan transitional criminal justice
merupakan elemen yang sangat menentukan kualitas demokrasi yang pada
kenyataannya sedang diupayakan.
Upaya penegakan
transitional criminal justice umumnya dilakukan melalui dua jalur sekaligus,
yaitu jalur yudisial (melalui proses pengadilan) dan jalur ekstrayudisial (di
luar proses pengadilan). Jalur yudisial terbagi lagi menjadi dua, yaitu
Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM ditujukan untuk
pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 tahun 2000,
sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc diberlakukan untuk mengadili pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26 tahun 2000.
Sedangkan jalur
ekstrayudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional (KKRN)
ditempuh untuk penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM pada masa lampau
dan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun
2000. Upaya penyelesaian melalui jalur demikian haruslah berorientasi pada
kepentingan korban dan bentuk penyelesaiannya dapat menunjang proses
demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan upaya
penciptaan kehidupan Indonesia yang demokratis dengan ciri-ciri utamanya yang
berupa berlakunya kekuasaan hukum dan dihormatinya hak asasi dan kebebasan fundamental.
2.3 Upaya
Pencegahan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
Pendekatan
keamanan yang terjadi di era Orde Baru dengan mengedepankan upaya represif
tidak boleh terulang kembali. Untuk itu, supremasi hukum dan demokrasi harus
ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam
rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan
memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan
perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari
tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
Sentralisasi
kekuasaan yang terjadi selama ini perlu dibatasi. Desentralisasi melalui
otonomi daerah dengan penyerahan berbagai kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah perlu dilanjutkan. Otonomi daerah sebagai jawaban
untuk mengatasi ketidakadilan tidak boleh berhenti, melainkan harus
ditindaklanjuti dan dilakukan pembenahan atas kekurangan yang selama ini masih
terjadi.
Reformasi aparat
pemerintah dengan merubah paradigma penguasa menjadi pelayan masyarakat dengan
cara melakukan reformasi struktural, infromental, dan kultural mutlak dilakukan
dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya
berbagai bentuk pelanggaran HAM oleh pemerintah. Kemudian, perlu juga dilakukan
penyelesaian terhadap berbagai konflik horizontal dan konflik vertikal di tanah
air yang telah melahirkan berbagai tindak kekerasan yang melanggar HAM dengan
cara menyelesaikan akar permasalahan secara terencana, adil, dan menyeluruh.
Kaum perempuan
berhak untuk menikmati dan mendapatkan perlindungan yang sama di semua bidang.
Anak-anak sebagai generasi muda penerus bangsa harus mendapatkan manfaat dari
semua jaminan HAM yang tersedia bagi orang dewasa. Anak-anak harus diperlakukan
dengan cara yang memajukan martabat dan harga dirinya, yang memudahkan mereka
berinteraksi dalam masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan perlindungan hukum dalam
rangka menumbuhkan suasana fisik dan psikologis yang memungkinkan mereka
berkembang secara normal dan baik. Untuk itu perlu dibuat aturan hukum yang
memberikan perlindungan hak asasi anak.
Selain hal-hal
tersebut, perlu adanya social control (pengawasan dari masyarakat) dan
pengawasan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya
penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Diperlukan pula sikap proaktif
DPR untuk turut serta dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
HAM sesuai yang ditetapkan dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998.
Dalam bidang
penyebarluasan prinsip-prinsip dan nilai-nilai HAM, perlu diintensifkan
pemanfaatan jalur pendidikan dan pelatihan dengan, antara lain, pemuatan HAM
dalam kurikulum pendidikan umum, dalam pelatihan pegawai dan aparat penegak
hukum, dan pada pelatihan kalangan profesi hukum.
Mengingat bahwa
dewasa ini bangsa Indonesia masih berada dalam masa transisi dari rezim
otoriter dan represif ke rezim demokratis, namun menyadari masih lemahnya
penguasaan masalah dan kesadaran bahwa penegakan HAM merupakan kewajiban
seluruh bangsa tanpa kecuali, perlu diterapkan keadilan yang bersifat
transisional, yang memungkinkan para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat
memperoleh keadilannya secara realistis.
Pelanggaran HAM
tidak saja dapat dilakukan oleh negara (pemerintah), tetapi juga oleh suatu
kelompok, golongan, ataupun individu terhadap kelompok, golongan, atau individu
lainnya. Selama ini perhatian lebih banyak difokuskan pada pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh negara, sedangkan pelanggaran HAM oleh warga sipil mungkin jauh
lebih banyak, tetapi kurang mendapatkan perhatian. Oleh sebab itu perlu ada
kebijakan tegas yang mampu menjamin dihormatinya HAM di Indonesia. Hal ini
perlu dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Meningkatkan
profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.
2. Menegakkan
hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif.
3. Meningkatkan
kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar
mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.
4. Memperkuat
dan melakukan konsolidasi demokrasi.
2.4 Pemerintah
Masih Harus Bekerja Keras dalam Penegakan HAM
Wakil Presiden
(Wapres) Boediono mengakui bahwa pemerintah masih harus bekerja keras dalam
upaya penegakan hak asasi manusia (HAM). Di samping itu, sudah ada perangkat
yang cukup dalam aturan-aturan.
Demikian
dituturkan Wapres Boediono dalam peringatan Hari HAM Sedunia di Istana Wapres,
Jakarta, Jumat (10/12). Turut hadir dalam acara tersebut Ketua Komisi Nasional
HAM Ifdhal Kasim, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, dan mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
"Perangkat
cukup secara on paper. Undang-undang mengenai HAM saat ini sudah ada dan perangkat
hukum itu barangkali bisa berkembang terus. Sebab, definisi HAM juga sangat
dinamis, nanti mungkin ada perkembangan lain yang ditampung," ujar Wapres
Boediono.
Dicontohkan,
perubahan yang terjadi pada ayat 10 dalam konstitusi merupakan salah satu yang
fundamental. Itu menjadi contoh upaya menegakkan HAM.
Wapres Boediono
mengatakan, masalah penegakan HAM pada akhirnya akan kembali kepada
manusia-manusianya. Baik oleh pejabat, pimpinan perusahaan, parpol, dan
lainnya. Salah satunya, pendekatan kepada masyarakat untuk memiliki Kewajiban
Asasi Manusia untuk menghargai HAM.
Di sisi lain,
sambung Wapres Boediono, pembangunan adalah bagian dasar dalam pelaksanaan HAM
di Indonesia. Dalam arti, misalnya, pemenuhan kesehatan, pendidikan,
kesejahteraan, penghasilan, dan hak gizi masyarakat.
"Demi
tercapainya pelaksanaan HAM dan pembangunan, kesejahteraan masyarakat harus
terus ditingkatkan dengan keadilan. Itu penting agar kita selalu merasa
memiliki negara kita," ucap Wapres Boediono.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah
hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya. Setiap
individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu
kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain.
HAM setiap
individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah lebih dulu
memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam sumber utama
ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber ajaran
normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.
Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap
bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu
instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM,
pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM
sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan HAM.
3.2 Saran-saran
Sebagai makhluk
sosial kita harus mampu mempertahankan dan memperjuangkan HAM kita sendiri. Di
samping itu kita juga harus bisa menghormati dan menjaga HAM orang lain jangan
sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan sampai pula HAM kita
dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.
Jadi dalam
menjaga HAM kita harus mampu menyelaraskan dan mengimbangi antara HAM kita
dengan HAM orang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnardi, Muhammad Ibrahim.1984. Hukum
Tata Negara Indonesia .
Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara UI Dan C.V.
Sinar Bakti.
Budi, Arjdo Miriam, 2006. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT Granmedia Pustaka Utama.